0

pengertian hukum syara' dan pembagiannya

Posted by Atang Fauzi on 05.34

1.Pengertian Hukum Syara’
            Kata syara’ secara etimologis berarti:” jalan, jalan yang bisa dilalui oleh air”. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepada alloh.  Kata ini secara sederhana berarti “ketentuan alloh”.(1)
                M. abu Zahrah di dalam bukunya ushul piqh menjelaskan pengertian hukum syar’i yaitu ketetapan alloh yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa iqtida ( tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wad’i (sebab akibat).
            Kata syari’at terdapat dalam beberapa ayat al quran seperti dalam surat Asy syuura ayat 13 berbunyi:

Artinya: ‘”dia alloh yang telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-nya kepada nuh, dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada ibrahim,musa dan isa yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya, amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Alloh menarik pada agama itu orang yang dikehendaki-nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-nya orang yang kembali (kepada-Nya).

2.Pembagian Hukum Syara’

2.1.Hukum Taklifi
Hukum Taklifi yaitu hukum yang menjelaskan tentang perintah,larangan,dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya.Contoh hukum yang menunjukkan perintah adalah:

Artinya : ‘Dan dirikanlah salat,tunaikanlah zakat,dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”  (Q.S. Al Baqarah ;43).
sedangkan contoh hukum yang menunjukkan larangan adalah:

Artinya:”janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih manfaat, hingga sampai ia dewasa. (Qs .al-an’am :52).
Adapun madzhab hanafi membagi hukum taklifi ini menjadi tujuh yaitu: wajib,mandub(sunat),Makruh tahrim,makruh Tanzih,haram dan mubah.Adapun penjelasan pembagian hukum taklifi yaitu.









2.1.1. Wajib
Wajib yatu: Tuntutan untuk memperbuat secara pasti dengan arti harus diperbuat, sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran, dan orang yang meninggalkan patut mendapat ancaman Allah. contoh melakukan shalat , puasa  ramadhan.”(2)
Sedangkan wajib terbagi atas empat bagian,
1.Wajib yang berdasarkan waktu pelaksanaannya ini terbagi dua yaitu “Wajib Muthlak”dan “Wajib Mu-aqad”.
a.Wajib Muthlak
Wajib Muthlak yaitu apabila diminta oleh syar’i itu memperbuatnya dengan pasti,tidak jelas waktunya untuk melakukannya.seperti kifarat yang diwajibkan bagi orang yang bersumpah dan yang melanggar sumpah.Untuk berbuat ini tidak dijelaskan waktunya,dan orang yang melanggar sumpah yang dilanggarnya.seperti haji,wajib bagi yang sanggup,kewajiban mengerjakan hajinya tidak dijelaskan secara detail tahunnya.”(3)
Ada sebagian Ulama yang berpendapat bahwa wajib muthlak (bebas) yang pelaksanaanya tidak dibatasi oleh waktu tertentu,sehingga seandainya dilaksanakan sampai batas akhir masa kemampuan unuk melaksanakan tidak berdosa.Sperti mengqadha puasa ramadhan bagi orang yang tidak berpuasa lantaran ada “udzur”.(4)
b.Wajib Muaqqad
Wajib Muaqqad yaitu kewajiban yang pelaksanaanya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan diluar waktu yang ditentukan.Wajib muaqqad ini dibagi menjadi tiga yaitu:
a).wajib muwassa’(mempunyai waktu luas)yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri.seperti waktu untuk shalat dhuhur dimulainya dari tergelincirnya matahari sampai ukuran bayang bayang sepanjang badan;atau sekitar tiga jam,sedangkan waktu untuk melakukan shalat dzuhur sendiri adalah 10 menit.Dalam bentuk wajib muwassa’ diberi kelapangan bagi mukallaf untuk melaksanakan kewajiban dalam rentangan waktu yang ditentukan.tentunya dalam hal ini ada perbedaan ulama tentang bagian waktu mana yang menjadi sebab wajibnya perbuatan itu,artinya bagian yang merupakan tanda tertujunya titah pembuat hukum terhadap mukallaf sebagai subjek hukum.hal ini seperti dalam Q.s al-isra ayat 78”laksanakan shalat karena telah tergelincirnya matahari”.(5)


Alloh SWT berfirman:



Artinya:” Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (dan dirikanlah sholat) subuh, sesungguhnya sholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).(Qs. Al-isra: 78).
b) wajib mudhayyaq”(mempunyai waktu sempit).Wajib mudayyaq adalah suatu ibadah wajib ,dimana waktu yang disediakan untuk melaksanakannya sangat terbatas, sehingga tidak cukup untuk melaksanakan ibadah lain.seperti puasa dibulan ramadhan ,dimana masa bulan itu hanya dapat dipergunakan  untuk ibadah puasa ramadhan saja,tidak dapat diisi dengan ibadah puasa lainnya. Alloh AWT berfirman:





Artinya:”(Beberapa hari yang ditentukan ialah) bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang di tinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengucapkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan alloh atas perunjuk-nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
c). wajib dyzu syahaini adalah kewajiban yang pelaksanaannya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat tersebut diatas.dari satu segi disebut muwassa’ dan dari segi lain ia adalah mudhayyaq.Umpamanya ibadah haji,bahwa ibadah haji hanya satu kali dalam satu tahun dan tidak dapat dalam tahun itu dilaksanakan ibadah haji lainnya,disebut mudhayyaq.dari segi pelaksanaannya ibadah haji lebih lebih sempit waktunya daripada waktu yang disediakan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji ,ia disebut muwassa’.dengan demikian .ia memiliki titik kesamaan dengan dua bentuk wajib diatas.karenanya di kalangan ulama disebut dzu syahhainni.

2.Wajib berdasarkan segi pelaksana terbagi dua yaitu wajib aini dan wajib kafai’.
a.Wajib aini(fardhu ain) dan Wajib Kifai (fardu kifayah)
wajib aini adalah  apa yang diminta syar’i yang mengerjakan itu pribadi mukallaf.Tidak diberi pahala bila dikerjakan oleh mukallaf yang lain.seperti shalat,zakat,haji,menepati janji,menjauhkan diri dari khamr dan berjudi.sedangkan Wajib kifai yaitu apa yang diminta oleh syar’i yang melakukannya itu sejumlah mukallaf .Bukan tiap tiap pribadi dari mereka .sebab apabila telah dikerjakan oleh bebrapa orang maka yang diwajibkan itu sudah terbayar,dan gugurlah dosa dari orang-orang selebihnya.dan sebaliknya apabila tidak dikerjakan oleh seorang maka semua mukallaf berdosa. karena melalaikan yang wajib.seperti menshalatkan jenazah,memadamkan kebakaran dll.
3.Wajib dari segi kadar yang dituntut yaitu wajib muhaddad dan wajib ghairu muhaddad
a). Wajib muhaddad adalah sesuatu yang dinyatakan oleh pembuat hukum kewajibannya kadar yang ditentukan, dengan arti bahwa mukallaf belum terlepas dari tanggungnya terkecuali bila ia telah melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan pembuat hukum syar’i.seperti zakat yang ditentukan adalah zakat fitrah. Kewajiban zakat harta atau zakat fitrah telah ditentukan kadarnya,dalam arti jika telah terpenuhi syarat syarat wajib ,seorang harus melaksanakannya menurut ukuran yang ditentukan.Ia belum dianggap melaksanakan kewajibannya kecuali kadar yang sudah ditentukan telah dilaksanakannya.
b). wajib Ghairu muhaddad yaitu suatu kewajiban yang pelaksanaanya tidak ditentukan ukuran pembuat hukum(syar’i).Seperti nafkah untuk kerabat.nafkah kerabat ini termasuk kewajiban yang tidak ditentukan ukuran kadarnya untuk diberikan pada kerabat tersebut.contoh lain kewajiban menafkahi istri ,sebagian ulama berpendapat bahwa nafkah istri terhadap suaminya termasuk wajib muhaddad,walaupun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kadar yang diberikan.ada yang mengatakan bahwa nafkah itu diberikan kepada istri,semampu suami memberikan kepada istri.Selain pendapat itu ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa pada dasarnya memberi nafkah kepada istri merukan wajib ghairu muhaddad.Baru ia menjadi wajib muhaddad.”(6)
4.Wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut/tuntutan yaitu wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar.
a). Wajib muayyan(kewajiban tertentu) yaitu Apa apa yang dituntut oleh pembuat hukum suatu perbuataban yang sudah tertentu artinya subjek hukum baru dinyatakan telah menunaikan tuntutan bila sesuatu yang tertentu itu telah dilaksanakannya dan tidak ada pilihan untuk pilihan lainnya.misalnya membayar hutang yang harus dibayarkan kepada orang yang dihutangi.
b). Wajib mukhayyar yaitu sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk dilaksanakan dengan memilih salah satu diantara hal yang telah ditentukan,artinya tangguang jawab dari yang dituntut baru dinyatakan telah terlaksana bila ia telah melakukan satu pilihan dari beberapa kemungkinan yang ditentukan. Misalnya pilihan diantara dua hal adalah pilihan pembebasan tawanan dan uang tebusan,sebagimana dalam firman Alloh SWT.






Artinya:” Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah  mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila alloh menghendaki niscaya alloh akan membinasakan mereka, tetapi alloh hendak menguji sebagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan alloh. Alloh tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. (Q.s muhammad:4.)
2.1.2. Sunat/mandub
Sunat atau mandub dalam fiqh merupakan tuntutan untuk memeperbuat secara tidak pasti dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilaksanakan. Terhadap yang melaksanakan berhak mendapat ganjaran akan kepatuhannya, tetapi bila tuntutan tersebut tidak dilakukan atau ditinggalkan maka tidak apa apa. oleh karena itu yang meninggalkan itu tidak patut mendapat ancaman dosa.Tuntutan seperti ini disebut Nadb. pengaruh tuntutan terhadap perbuatan disebut Nadb juga; sedangkan perbuatan yang dituntut disebut mandub.seperti memberi sumbangan ke panti jompo,shodaqah dan lainnya.secara bahasa mandub adalah seruan untuk sesuatu yang penting.adapun dalam artian definisi yaitu sesuatu yang dituntut untuk memmeprbuatnya secara hukum syar’i tanpa ada celaan terhadap orang  yang meninggalkan secara muthlak.”(7)
Sedangkan dalam mandub sendiri ada beberapa bagian.Yaitu Mandub dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan perbuatan sunah.terbagi menjadi dua yaitu Sunah muakkadah dan sunah ghairu muakkad.Sedangkan diilihat dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan juga terbagi dua yaitu sunah hadyu,sunah zaidah dan sunah nafal.
a)      segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan perbuatan sunah
Sunah muakkad yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu.misalnya shlat witir,dua raka’at fajar sebelum shalat shubuh.Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang meninggalkannya dicela,tetapi tidak berdosa,karena orang yang meninggalkan secara sengaja berarti menyalahi sunah yang biasa dilakukan nabi.
Sunah ghairu muakad yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tetapi nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian seperti shalat sunah 4 rakaat sebelum dzuhur dan sebelum ashar.Ada yang mengartikan bahwa sunah ini tidak dikerjakan oleh rasul secara kontinyu.
      b). Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan
Sunah hadyu yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dinyatakan sesat dan tercela; bahakan bila satu kelompok kaum sengaja meninggalkannya secara terus menerus,maka kelompok ini harus diperangi.sunah dalam bentuk ini merupakan kelengkapan dari kewajiban keagamaan,seperti adzan,shalat jamah,shalat hari raya.Jika dikategorikan sunah ini masuk kepada sunah muakkad karena  besar pahalanya.
Sunah zaidah yaitu sunah yang apabila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik tetapi bila ditinggalkan ,yang meninggalkannya tidak diberi sanksi apa apa.seperti cara-cara yag biasa dilakuakn oleh nabi dalam kehidupan sehari harinya,sunah zaidah ini tempatnya adalah dibawah derajat sunah ghairu muakkad.
Sunah nafal yaitu suatu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib,seperti shalat sunah 2 rakaat yang mengiringi shalat wajib.shalat tahajudd,witir dan lainnya yang dalam istilahnya disebut sunah ghairu muakkadah.
Ada perbedaan pandangan antara madhab syafii dan Hanafi dalam memandang hukum menghentikan perbuatan sunah.Sunah sendiri merupakan perbuatan jika dilakukan mendapat ganjaran tetapi jika tidak dikerjakan tidak apa apa.Menurt ulama syafii bahwa hukum menyelesaikan perbuatan sunnah sama dengan hukum memulai perbuatan sunah itu.Karena tidaklah merupakan keharusan untuk menyelesaikannya.Oleh karena itu bila disengaja membatalkannya tidak apa apa.dan tidak wajib menganti atau mengqadha.dalam kesempatan berikutnya.Alasan kalangan ini karena seseorang diberi hak pilih untuk memeperbuatnya dan dengan denikian dia juga berhak untuk tidak memilih untuk tidak melanjutkannya.Bila ia tidak wajib melanjutkan berrarti ia tidak wajib meng-qadha yang ditinggalkannya itu.”(8)
Sedangkan ulama hanafiyah berpendapat bahwa meskipun sunah itu tidak wajib dilakukan,tetapi bila sudah mulai dilakukan ,wajib dia menyelesaikannya,alasannya bila seorang sudah memulai pekerjaan baik yang berhak atas pahala,maka ia sudah melakukan amalan baik atau ibadah, sebagaimana firman Alloh SWT.


 Artinya:”Hai orang orang yang beriman patuhlah kamu kepad Allah dan patuhlah kamu kepada Rasul janganlah kamu batalkan amal perbuatnmu” (Q.s Muhamad:33)



2.1.3.HARAM
Tuntutan untuk menianggalkan secara pasti dengan arti yag dituntut harus meninggalkannya.Bila seorang meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang melarang.karenanya ia patut mendapat ganjaran orang yang tidak meninggalkan larangan berarti ia menyalahi tuntutan Allah.Karenanya patut mendapat ancaman dosa Tuntutan dalam bentuk ini disebut tahrim.Pengaruh tuntutan terhadap perbuatan disebut”hurmah”.perbuatan yang dilarang secar pasti disebut muharram atau haram.
Haram secara bahasa berarti sesutau yang lebih banyak kerusakannya.kadang kadang digunakan dalam arti larangan..dalam istilah hukum haram adalah sesuatu yang dituntut syar’i(pembuat hukum)untuk tidak memeprbuatnya secara tuntutan yang pasti.sedangkan istilah haram menurut pendapat ulama jumhur yang mengartikan haram yaitu larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan,baik ditetapkan dengan dalil yang qathi maupun dalil zhanni.Menurut mereka dalil dalil zhanni itu dapat dijadikan argumentasi dalam amal perbuatan.
Sedangkan menurut madzhab hanafi ,hukum haram harus didasarkan pada dalil qath’i yang tidak mengandung keraguan sedikitpun.sehingga kita tidak mempermudah dalam menetapkan hukum haram,sebgaimna Alloh Swt berfirman.




Artinya:” dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap alloh. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap alloh. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap alloh tiadalah beruntung”.( Q.s an-nahl ayat 116).
Contoh dari hukum haram yaitu makan bangkai (kecuali bangkai ikan dan belalang),minum khamr,berzina,membunuh seorang yang diharamkan Allah tanpa ada hak. Seperti dalam firman alloh SWt.








Artinya:’Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,darah,daging babi,(daging hewan) yang disembelih atas nama selain alloh swt,yang tercekik,yang terpukul,yang jatuh, yang di tanduk,dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala,dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan, pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, dan takutlah kepadaku, pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu nikmat-ku, dan telah aku ridhoi islam itu agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya alloh maha pengampun lagi maha penyayang.  (Q.S Al-ma’idah:03).
Dari contoh diatas merupakn perbuatan yang membawa hukum haram bagi perbuatan itu.Ada landasan dasar hukum haram adalah karena adanya bahaya yang nyata yang tidak diragukan lagi.setiap perbuatan yang diharamkan syara’ pasti mengandung bahaya,sedangkan perbuatan yang dibolehkan syara’ pasti mengandung kemanfaatan yang banyak. atas dasar tersebut hukum haram ini terbagi menjadi dua yaitu haram li-dzatih dan haram lighairi aridhi.
(a)Haram li-dzatih yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri.seperti makan bangkai, minum khamr, berzina,mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga yatu badan,keturunan,harta benda,akal dan agama.Perbuatan yang diharamkan li-dzatihh adalah bersentuhanlangsung dengan salah satu dari lima tersebut.
(b) Haram lighairi’aridhi yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’,dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri,tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li’dzatih.seperti jual beli barang secara riba diharamkan karena dapat menimbulkan riba yang diharamkan karena dzatiyahnya sendiri. contohnya si fulan membeli barang yag sudah ditawar oleh orang
Perbedaan antar haram lidzatih dengan lighairih adalah bahwa haram lidzatihi tidak diperbolehkan sama sekali,kecuali dalam keadaan darurat(terpaksa).alasannya karena haram lidzatih adalah langsung berhubungan dengan hal hal yang sangat vital,sehingga keharaman tersebut tidak dapat dihilangkan, kecuali oleh sebab vital juga. jika meminum khamr diharakan karena merusak akal fikiran.maka khamr tersebut tidak boleh kecuali orang yang bersangkutan dikhawatirkan akan mati lantaran dahaga.jadi dharurat yang memeperbolehkan perbuatan yang diharamkan adalah karena dharurat tersebut langsung berhubungan dengan masalah yang amat vital.sedangkan haram lighairih boleh dikerjakan bila ada hajat,meskipun tidak sampai tingkat darurat (terpaksa).alasannya tidak berhubungan langsung dengan masalah yang vital.karena itu,bagi seorang dokter yang akan mendiagnose untuk memberikan terapai pada pasien perempuan, diperbolehkan melihat auratnya apabila untuk memberikan terapi tersebut memang mengharuskan melihat auratnya.”(9)
2.1.4.MAKRUH
Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti dengan arti masih mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu.Orang yang  meninggalkan larangan berarti    ia telah mematuhi yang melarang.Karenanya ia patut mendapat ganjaran pahala Tetapi karena tidak pastinya larangan ini,maka yang tidak meninggalkan larangan tidak mungkin disebut menyalahi yang melarang.Karenanya ia tidak berhak mendapat ancaman dosa ,larangan dalam bentuk ini disebut karahah.Pengaruh larangan tidak pasti terhadap perbuatan yang dilarang secara tidak pasti disebut makruh.seperti merokok. Makruh ini terbagi menjadi dua, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih.
1). Makruh tahrim yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil dzanni yang masih mengandung keraguan,seperti memakai sutera,cincin dari emas dan perak bagi kaum laki laki,poligami bagi orang yang khawatir tidak dapat berbuat adil.makruh ahrim ini merupakan lawan dari hukum wajib.
2) Makruh tanzih yaitu suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti,lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut.makruh tanzih ini merupakan lawan dari hukum mandub sunat.Menurut jumhur ulama ,pelaku yang berbuat makruh ini tidak dicela ,sedangkan orang yang meninggalkannya adalah terpuji.menurut pendapat hanafi,pelaku makruh tahrim tergolong tercela,sedangkan pelaku makruh tanzih tidak,dan orang yag meninggalkan kedua macam makruh tersebut adalah terpuji.
2.1.5 MUBAH
Perintah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan.Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan ,baik mngerjakan maupun meninggalkan.Ia tidak diperintahkan.bila seorang mengerjakan ia tidak diberi ganjaran dan tidak pula diancam atas perbuatan itu.ia juga tidak dilarag berbuat. kerenanya  bila ia melakukan perbuatan itu atau tidak ia tidak diberi ganjaran.dan tidak pula mendapat ancaman, hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah”.pengaruh titah terhadap perbuatan disebut ibahah juga.sedangkan perbuatan yag diberi pilihan untuk berbuat atau tidak disebut mubah.seperti melakukan perburuan setelah tahallul dalam ibadah haji.Sedangkan menurut imam Asy-syaukani mendefinisakna mubah yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan sama-sama tidak memperoleh pujian, terkadang mubah sendiri itu dimaksudkan untuk suatu perbuatan yang tidak mengandung resiko apabila dikerjakan,meskipun pada mulanya perbuatan tersebut diharamkan.sperti membunuh orang yang murtad itu diperbolehkan(mubah)dan pelakunya tidak terkena resiko apa apa namun ada masalah sosial yang nantiya kan dihadapi.
Imam assyatibi membagi mubah ditinjau dari segi penggunannya menjadi empat bagian,yaitu mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perintah yang diwajibkan yang disebut mubah juz’i(temporer), tapi secar kully(keseluruhan)diperintahkan seperti makan,seseorang tidak diperbolehkan meninggalkan selama lamanya.
Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perbuatan yang dilarang, secara temporer perbuatan tersebut diperbolehkan,tetapitidak bolehdikerjakan terus menerus,seperti bergurau,mendengarkan radio diperbolehkan secar temporer.,tetapi seorang yang berakal seat tidak boleh menghabiskan waktunya hanya untuk sendau gurau,mendengakan radiodam lainnya.Seangkan mbah yang digunakan untuk melayani perbuatan ya mubah.Terakhir mubah yang tidak dipergunakan untuk melayani apa apa.(10)
2.2 Hukum Wadh’i
   Hukum wad’i adalah perintah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, itu seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dhuhur, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’i) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Oleh karenanya,ulama membagi hukum wad’i ini kepada: sebab, syarat, dan mani’. Namun, sebagai ulama memasukkan sah dan batal, serta azimah dan rukhsah.”(11)

2.2.1 Sebab
Sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan  bagi ada dan tidak adanya hukum. Seperti masuknya bulan ramadhan menjadi tanda datangnya bulan ramadhan,dan kewajiban puasa harus dijalankan setiap umat muslim. Atau keadaan dalam perjalanan menjadi sabab bolehnya mengqashar shalat.Perjalan dijadikan sebagai sabab bolehnya mengqashar shalat.
Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
    Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian yaitu sebagai berikut:
a.              Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya, kedaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat. Sebagaimana firman alloh swt.


Artinya:” Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (dan dirikanlah sholat) subuh, sesungguhnya sholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).(Qs. Al-isra: 78).
b.              Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf.
Sebab ini dibagi dua, yaitu sebagai berikut:
-                 Hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib melaksanakan puasa, di dalam firman alloh SWT.





Artinya: ”Bulan ramadan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan alquran,sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada dibulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atau petunjuk-NYA yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”( Q.s Al-Baqarah : 185).
-  Hukum wad’i, seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua, dan lain sebagainya.(12)
2.2.2 Syarat
Syarat menurut abu zahrah yaitu sesuatu yang tergantung kepada adanya hukum; lazim dengan tidak adanya ,tidak ada hukum;tetapi tidaklah lazim dengan adanya,ada hukum. contohnya wali dalam perkawinan yang menurut jumhur ulama’merupakan syarat.Dengan tidak adanya wali pasti tidak sah.tetapi dengan adanya wali pernikahan akan sah.tetapi belum tentu sah bila syaratnya belum terpenuhi, seperti harus adanya saksi,akad dan lainnya.Pembagian syarat ada tiga yaitu syarat aqli,’adi dan syar’i.
Syarat aqli seperti kehidupan menjadi syarat utuk dapat menegtahui,adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.Sedangkan syarat ‘adi yaitu berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku;seprti bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.Sedangkan syarat syari’yaitu berdasarkan penetapan syara’,seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat.Nisab menjadi syarat wajibnya zakat
2.2.3. Mani’(Penghalang)
Mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam:
a.       Mani’ terdapat hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukum pusaka-mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang shalat. Dalam contoh ini tidak terdapat salah satu syarat syah shalat, yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya shalat. Hal ini disebut mani’ hukum.
b.      Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya,seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat ia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi. Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani’ dalam contoh ini adalah menghalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut mani’ sebab.”(13)
2.2.4.Rukhsah dan Azimah
Rukhsah adalah ketentuan yang disyariatkan allah sebagai keringanan (dispensasi) terhadap mukalaf karena ada hal-hal  khusus. Contohnya jamak dan qosor salat karena sedang dalam perjalanan jauh.
Macam-macam rukhsah adalah sebagai berikut:
a.       Diperbolehkannya yang haram karena dalm keadaan darurat. Contohnya diperbolehkannya memakan bangkai dalam keadaan kelaparan.
b.      Boleh meninggalkan kewajiban karena ada uzur. Misalnya tidak puasa karena dalam perjalanan jauh atau sakit.
c.       Mengubah syariat lama dengan syariat baru. Contoh bertaubat dari dosa (tobat nasuha) sebagai pengganti bunuh diri yang berlaku pada syariat Nabi Musa a.s., mencuci pakaian dengan air untuk menghilangkan najis sebagai pengganti dari memotong/ merobek pakaian untuk menghilangkan najis pada syariat Nabi Musa a.s.
Azimah adalah syariat asal yang berlaku umum. Syariat ini berlaku disaat normal tidak ada uzur,darurat, dan mampu dilakukan mukalaf. Contohnya dalam pernikahan jika akad nikah diucapkan oleh si laki laki secara  sempurna,lantang dan lancar tidak ada jeda maka sah dia dalam mengucapkannya sehingga sah dalam prosesi pernahan itu,dan jika sebaliknya maka akan batal dan harus mengulang lagi.
2.2.5 Sah dan Batal
Sah adalah perbuatan yang dilakukan terpenuhi syarat,sebab, dan lainnya yang mengakibatkan perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Misalnya salat zuhur sah jika dilakukan setelah tergelincir matahari, yang melakukannya sudah suci dari hadas dan najis. Maka hukumnya melakukannya pun menjadi wajib, dan ia mendapatkan pahala.
Batal merupakan kebalikan dari sh yaitu perbuatan yang dilakukan tidak terpenuhi syarat, sebab, dan lainnya yang mengakibatkan perbuatan tersebut harus diulang, karena tidak menggugurkan kewajiban, dan tidak dapat pahala. Sebagai dalam pernikahan jika akad nikah diucapkan oleh si laki laki secara  sempurna,lantang dan lancar tidak ada jeda maka sah dia dalam mengucapkannya sehingga sah dalam prosesi pernahan itu,dan jika sebaliknya maka akan batal dan harus mengulang lagi.
2.3  Perbedaan antara Hukum Taklifi dengan Hukum wad’i

    Dari uraian sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wad’i ada dua hal, yaitu sebagai berikut:
1.      Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum taklifi adalah hukum allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk bernuat atau tidak berbuat suatu perbuatan,atau membolehkan memilih antara berbuat atau tidak berbuat. Adapun hukum wad’i tidak mengandung yuntutan tau membri pilihan , hanya menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah dan batal.
2.      Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya. Adapun hukum wad’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadang-kadang tidak.’(14)




















Kesimpulan
Menurut Ahli Ushul fiqh,hukum syara’adalah“Khitab(titah) Allah yg menyangkut tindak tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan,pilihan berbuat atau tidak;atau dalam bentuk ketentuan ketentuan.”Contoh: “Kerjakanlah Shalat”,Janganlah kamu memakan harta org lain secara bathil.
Para ahli fiqh  membagi  dua  bagian dalam hukum syara’.Pertama hukum taklifi dan hukum Wadh’i. hukum Taklifi yaitu hukum yang menjelaskan tentang perintah larangan,dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya.Contoh hukum yang menunjukkan perintah adalah “dirikanlah shalat”,membayar zakat dan menunaikan ibadah haji ke baitullah. madzhab hanafi membagi hukum taklifi ini menjadi tujuh       yaitu,fardhu,wajib,mandub(sunat),Makruh tahrim,makruh Tanzih,haram dan mubah.
Sedangkan Hukum wadh’i sendiri adalah titah Allah yang berbentuk wadh’i ,yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah tidak langsung mengatur perbuatan mukalaf,tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dhuhur. hukum wadh’i sendiri terbagi menjadi lima yaitu sebab,Syarat,Mani’,Rukhsah,Sah dan Batal.  























Daftar Pustaka
1.Abdul wahab khalaf, ilmu ushul fiqh, PT rineka cipta, Jakarta:2005
2. Syarifuddin,amir,Ushul fiqh, Prenada media group, Jakarta:2011
3.Abu Zahrah Muhammad, Ushul fiqh,PT Pustaka Firdaus, Jakarta: 2011







|

0 Comments

Copyright © 2009 Catatan Atang Fauzi All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.