Dakwah
Nabi dan Tantangan Kafir Quraisy di Mekkah
oleh: Atang Fauzi
Penyebaran
Islam di kota Mekah awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nabi Muhammad
mulai melaksanakan dakwah Islam dilingkungan keluarganya, mula-mula Istri dari
beliau sendiri, yaitu Khadijah yang menerima dakwah beliau, kemudian saudara
sepupunya Ali bin Abi Thalib, lalu sahabat beliau Abu Bakar, bekas budak beliau
yaitu Zaid dan disamping itu banyak pula orang yang masuk Islam dalam perantara
Abu Bakar yang terkenal dengan julukan Assabiqunal-Awwalun.
Kemudian
setelah turunnya ayat 94 surat Al-Hijr, Nabi Muhammad mulai berdakwah secara
terang-terangan. Namun dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad tidak mudah karena
mendapat tantangan dari kaum kafir Quraisy, hal itu timbul karena beberapa
faktor diataranya;
Mereka
tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.mereka mengira bahwa
tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul
Muthalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan.
Nabi
Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini
tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
Para
pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat.
Taklid
kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
Pemahat
dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Banyak cara dan upaya yang ditempuh orang
Quraisy untuk mengalahkan dan menghentikan dakwah Nabi Muhammad. Namun selalu
gagal. upaya yang dilakukan oleh kaum Quraisy, baik secara diplomatik dan bujuk
rayuan maupun tindakan kekerasan secara fisik. Diawali pertama mereka mengira
bahwa, kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang
amat disegani itu. Karena itu mereka menyusun siasat bagaimana melepaskan
hubungan Nabi dengan abu Thalib dan mengancam dengan mengatakan: “kami meminta
anda memilih satu diantara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya
atau anda menyerahkan kepada kami. Dengan demikian, anda akan terhindar dari kesulitan
yang tidak diinginkan. “Tampaknya, Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman
tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi
menolak dengan mengatakan: “ Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan
amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan
mengucilkan Saya. “Abu Thalib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya
itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.
Merasa
gagal dengan cara ini, kaum Quraisy kemudian mengutus Walid bin Mughirah dangan
membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan, untuk
dipertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu
Thalib: “Ambillah dia menjadi anak Saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada
kami untuk kami bunuh. “Usul langsung ditolak oleh keras oleh Abu Thalib.
Untuk
kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka mengutus Utbah
bin Rabiah, seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi. Mereka menawarkan
tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya.
Semua tawaran itu ditolak Muhammad dengan mengatakan: “Demi Allah, biarpun
mereka meletakan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, aku
tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini memang atau aku binasa
karenanya.
Puncak
dari semua itu adalah dengan diberlakukannya pemboikotan terhadap bani Hasyim,
yang merupakan tempat Nabi berlindung. Pemboikotan ini berlangsung selama tiga
tahun dan merupakan tindakan yang paling melemahkan umat Islam di kota Mekah
pada waktu itu.
Pemboikotan
itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraisy menyadari bahwa apa yang
mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan. Setelah boikot
dihentikan, Bani Hasyim seakan dapat bernafas kembali dan pulang kerumah
masing-masing. Namun tidak lama kemudian Abu Thalib, paman Nabi yang merupakan
pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari setelah itu,
Khadijah, istri Nabi, meninggal dunia pula. Peristiwa itu terjadi pada tahun
kesepuluh kenabiannya. Tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad
SAW. Sepeningggal dua pendukung itu, kafir Quraisy tidak segan-segan lagi
melampiaskan nafsu amarahnya kepada Nabi. Melihat reaksi penduduk kota Mekah
demikian rupa, Nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam keluar kota. Namun di
Thaif dia diejek, disoraki dan dilempari batu, bahkan sampai terluka dibagian
kepala dan badannya.
Untuk
menghibur Nabi Muhammad yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan
memikrajkan beliau pada tahun ke-10 kenabiaanya itu. Berita tentang Isra dan
Mikraj ini menggemparkan masyarakat kota Mekah. Bagi orang kafir, peristiwa ini
dijadikan bahan propaganda untuk mendutakan Nabi. Sedangkan, bagi orang yang
beriman, peristiwa ini merupak ujian keimanan.
Setelah
peristiwa Isra dan Mikraj merupakan suatu perkembangan besar bagi kemajuan
dakwah di Mekah, dengan datangnya penduduk Yastrib untuk berhaji ke Mekah.
Mereka terdiri dari dua suku yang saling bermusuhan, yaitu suku Asu dan
Khazraj, yang masuk Isalam dalam tiga gelombang.
Pertama,
mereka datang untuk memeluk agama Islam dan menerapkan ajarannya sebagai upaya
untuk mendamaikan permusuhan kedua suku tersebut. Dan mereka mendakwahkannya di
Yastrib.
Kedua,
pada tahun ke-12 kenabian mereka datang kembali menemui Nabi Muhammad dan
mengadakan perjanjian Aqabah pertama, ikrar kesetiaan. Kemudian rombongan ini
kembali lagi ke Yastrib disertai Mus’ab bin Umair, yan diutus Nabi Muhammad
untuk berdakwah bersama mereka.
Ketiga,
pada tahun ke-13 kenabian mereka datang kembali kepada Nabi Muhammad, dan
memintanya untuk hijrah ke Yastrib. Mereka akan membaiatnya sebagai pemimpin.
Nabi
Muhammad pun menyetujui usul merak untuk berhijrah ke Yatrib. Perjanjian ini
disebut perjanjian Aqabah kedua, karena terjadi di tempat yang sama. Akhirnya
Nabi Muhammad bersama kurang lebih 150 kaum muslimin hijrah ke Yastrib. Ketika
sampai di Yastrib sebagai penghormatan terhadap Nabi Muhammad nama Yastrib di
ubah menjadi Madianah.
Demikianlah
periode Mekah terjadi, dalam periode ini Nabi Muhammad mengalami hambatan dan
kesulitan dalam dakwah Islamiyahnya. Dalam periode ini Nabi Muhammad belum
berpikir untuk menyusun suatu masyarakat Islamiyah yang teratur, karena
perhatian Nabi lebih terfokus pada penanaman teologi atau keimanan masyarakat.
2.
Perjanjian
Hudaibiyah dan Kemenangan Diplomatis Nabi
A
. Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian
Hudaibiyyah (ØµÙ„Ø Ø§Ù„Øديبية) adalah sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di
antara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M atau pada bulan Dzul Qa’dah
tahun ke-6 hijriyah. Hudaibiyah itu sendiri adalah nama sebuah tempat yang
berjarak 22 km sebelah barat daya Makkah, sisi-sisinya termasuk perbatasan
tanah haram Makkah dan sebagian besar tidak termasuk.[1]
Adapun
garis besar Perjanjian Hudaibiyyah berisi : "Dengan nama Tuhan. Ini
perjanjian antara Muhammad SAW dan Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy. Tidak
ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti
Muhammad SAW, diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti
Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau
berpenjaga, jika mengikuti Muhammad SAW tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi
ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan
dikembalikan. Tahun ini Muhammad SAW akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan,
mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari.
Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka
haruslah tidak bersenjata saat memasuki Makkah"
B
. Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Hudaibiyyah
Pada
tahun 628 M/ 6 H. Ketika ibadah haji telah disyari’atkan, nabi beserta sekitar
1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji bukan untuk
berperang. Karena itu mereka tidak membawa senjata. Rasulullah menyeru
orang-orang Arab para penduduk desa yang berada di sekitar Madinah untuk keluar
bersamanya, sehingga mereka menuju Makkah dalam jumlah yang banyak. Sebab
beliau khawatir jika orang-orang Quraisy akan menghalangi dan memerangi mereka
sebelum tiba di Baitullah. Tetapi banyak juga dari penduduk desa ini yang
merespon panggilan ini dengan lambat bahkan menolaknya. Lalu beliau keluar
bersama kaum Muhajirin, Anshor dan kabilah-kabilah Arab lainnya.[2]
Rasulullah
juga membawa sejumlah hewan qurban, beliau membawa sekitar 700 unta, agar
memberikan rasa aman bagi mereka bahwa umroh ini bertujuan untuk berziarah dan
mengagungkan baitullah. Walaupun begitu
kaum Quraisy menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke
Mekkah. Pada waktu itu, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan
militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi
pertumpahan darah di Makkah, karena Makkah adalah tempat suci.
Akhirnya
kaum Muslim menyetujui inisiatif Nabi Muhammad, bahwa jalur diplomasi lebih
baik daripada berperang. Kejadian ini dituliskan pada surah Al-Fath ayat 4 :
“Dia-lah
yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan
kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana”
Sesampainya
rombongan di Dzul Hulaifah mereka
berhenti untuk mendirikan sholat dan mulai mengenakan pakaian ihram. Rasulullah
memasang kalung di sejumlah leher binatang sebagai tanda bahwa binatang itu
dipersiapkan untuk korban. Rasulullah menugaskan Basar bin Sufyan al-Khuza’i
melakukan kegiatan spionase (memata-matai) terlebih dulu di tengah-tengah pihak
Quraisy, untuk mencari informasi tentang keadaan, sikap dan langkah mereka terhadap
rombongan Rasulullah.[3]
Setelah
rombongan sampai di Rauha, Rasulullah mendapat kabar bahwa musuh siap
menyerang. Lalu beliau mengirim beberapa sahabat untuk memastikan hal itu.
Rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Setibanya di Usfan mereka bertemu
dengan Basar bin Sufyan al-Khuza’i, lalu ia melapor kepada Rasulullah bahwa
orang-orang Quraisy telah mendengar kabar kedatangan beliau, kemudian mereka
membawa anak istri keluar dari Makkah
sambil bertekad untuk tidak mengizinkan beliau memasuki Makkah. Sementara itu
Kholid bin Walid dan tentaranya sudah menghadang di Kira’ al-Ghamim. Rasulullah
bersama sahabat di Usfan mendirikan sholat Khauf, karena suasana yang genting
di sana.[4]
Rasulullah
langsung mengajak para sahabat bermusyawarah. Beliau mengusulkan untuk
menyerang beberapa perkampungan yang bersekutu dengan Quraisy, agar mereka
minta bantuan kepada Quraisy untuk mempertahankan wilayah dari serangan kaum
muslimin. Namun Abu Bakar mengingatkan Rasulullah kalau mereka pergi dengan
tujuan untuk umroh bukan untuk berperang, bila nanti ada yang menghalangi maka
terpaksalah ia dibunuh. Akhirnya Nabi Muhammad pun menyetujui usul ini.
Kemudian
Rasulullah dan para sahabat mencari jalan lain di perjalanan untuk menghindari
kontak fisik dengan pihak musyrikin. Setelah rombongan Rasulullah berhenti di
Hudaibiyyah, maka terjadilah saling kirim mengirim utusan antara kaum muslimin
dengan kaum musyrikin. Tetapi Quraisy tampaknya masih keras kepala dan
bersikukuh untuk tidak mengizinkan rombongan para sahabat memasuki Makkah.
Mereka takut bila kaum muslimin berhasil masuk Makkah, orang-orang Arab akan
mempergunjingkan kejadian ini.
Rasulullah
kemudian ingin mengutus Umar bin Khattab namun diganti oleh Utsman bin Affan,
karena Umar menunjukkan permusuhannya yang hebat terhadap Quraisy dan Quraisy
mengetahui hal itu, di samping itu kaumnya yakni, Bani ‘Adi tak dapat
melindunginya.[5]
Usman
bin Affan tak lama kemudian pergi menemui para tokoh Quraisy setelah terlebih
dahulu minta jaminan keamanan kepada
Abban bin Sa’ad bin al-‘Ash al-Umawi. Lalu dengan jaminan perlindungan
itu ia menyampaikan maksud dan tujuan Rosululloh kepada tokoh-tokoh Quraisy.
Utsman melakukan tugasnya dengan baik, sampai-sampai para tokoh Quraisy
mempersilakannya thawaf di Masjidil Haram. Tetapi Utsman menolaknya sebelum
Rosululloh mendahului thawaf dulu sebelum dia tawaf di Masjidil Haram.
Perkataan ini berakibat ia ditawan oleh Quraisy.[6]
Keterlambatan Utsman kembali ke barisan kaum
muslimin membuat sebagian kaum muslimin berkata bahwa Utsman telah mendahului
mereka thawaf di Baitullah. Namun Rosululloh dengan tegas menyatakan bahwa
Utsman tidak akan melakukannya hingga kaum muslimin thawaf bersamanya.[7]
Maka
terdengarlah isu bahwa Utsman terbunuh di tangan orang-orang Quraisy.
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung mengumpulkan para sahabatnya
untuk berbai’at di bawah sebuah pohon yang bernama Sammuroh. Mereka semua
berbai’at untuk membalaskan kematian Utsman sampai titik darah penghabisan.[8]
Berkenaan dengan peristiwa tersebut Allah menurunkan surat al-Fath ayat 10,
Allah berfirman :
“Bahwa
orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka
barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji)
sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan
memberinya pahala yang besar.”
Tetapi
pada saat yang genting itu, tiba-tiba Utsman muncul kembali di tengah-tengah
mereka, tepat setelah bai’at berlangsung. Paska Bai’at tersebut dari pihak
Quraisy mulai mengutus beberapa orang utusan untuk melakukan negosiasi dan
perundingan dengan kaum muslimin. Sampai pada akhirnya datanglah Suhail bin
Amru. Terjadilah dialog yang panjang antara Suhail dan Rasulullah, akhirnya
tercapailah kesepakatan atau perjanjian dari kedua belah pihak yang dikenal dengan
Perjanjian Hudaibiyyah.[9] yang isinya adalah sebagai berikut :
“Keduanya
telah sepakat untuk menghentikan perang selama 10 tahun, di mana dalam masa
waktu tersebut orang-orang memperoleh keamanan serta sebagian mencegah diri
untuk tidak melakukan penyerangan terhadap sebagian yang lain, dengan ketentuan
bahwa siapa di antara orang-orang Quraisy yang datang ke pihak Muhammad tanpa
memperoleh izin dari walinya, maka dia harus mengembalikanorang tersebut kepada
mereka, dan siapa di antara pengikut Muhammad yang datang ke pihak Quraisy,
maka Quraisy tidak berkewajiban mengembalikan orang itu kepadanya”.
“Dan
sesungguhnya masing-masing pihak saling menahan diri, tidak boleh ada pencurian
tersembunyi atupun penghianatan dan sesungguhnya barangsiapa ingin masuk dalam
satu ikatan persekutuan dan perjanjian dengan Muhammad, maka dia boleh masuk ke
dalamnya, dan barangsiapa lebih suka masuk dalam ikatan persekutuan dan
perjanjian dengan Quraisy, maka dia bebas masuk ke dalamnya”.
“Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) harus balik meninggalkan kami tahun ini, dan
jangan masuk Makkah dan sesungguhnya jika tahun depan tiba, kami akan keluar
memberikan keleluasaan padamu bersama pengikutmu masuk Makkah, kemudian tinggal
di sana selama tiga hari, dan untuk itu engkau boleh membawa senjata pengendara
(pedang dalam sarungnya); dan jangan masuk dengan senjata lain selain itu”.
C
. Kemenangan Diplomatik Nabi
Kesediaan
orang-orang Makkah untuk berunding dan membuat perjanjian dengan kaum muslimin
itu benar-benar merupakan kemenangan diplomatik yang besar bagi umat islam.
Dengan perjanjian, harapan untuk mengambil alih Ka’bah dan Makkah sudah makin
terbuka untuk merebut dan menguasai Makkah agar dapat menyiarkan Islam
kedaerah-daerah lain, ini merupakan target utama beliau. Ada dua faktor dasar
yang mendorong kebijaksanaan ini yaitu :
1. Makkah adalah pusat keagamaan bangsa Arab dan
melalui konsolidasi ini, Islam bisa tersebar keluar.
2.
Apabila suku nabi sendiri dapat diislamkan, Islam akan mendapat dukungan yang
kuat karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar.[10]
Tidak
diragukan lagi bahwa Perjanjian Hudaibiyah adalah suatu kemenangan yang nyata.
Sejarah pun mencatat bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang
bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa
depan Islam dan masa depan orang-orang Arab itu semua. Ini adalah yang pertama
kali pihak Quraisy mengakui Muhammad, bukan sebagai pemberontak terhadap
mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah. Dan
sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam itu. Kemudian
juga suatu pengakuan bahwa Muslimin pun berhak berziarah ke Ka’bah serta
melakukan ibadah haji, bahwa Islam adalah agama yang sah diakui sebagai salah
satu agama di jazirah itu. Selanjutnya gencatan senjata yang selama sepuluh
tahun membuat pihak Muslimin merasa lebih aman dari jurusan selatan tidak
kuatir akan mendapat serangan Quraisy, yang juga berarti membuka kesempatan
bagi Negara Islam Madinah untuk berkonsentrasi menyebarkan dakwah Islam ke arah
utara Jazirah Arab.
Kenyataan
lain adalah setelah persetujuan perletakan senjata itu dakwah Islam tersebar
luas berlipat ganda lebih cepat daripada sebelumnya. Hampir seluruh jazirah
Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan menggabungkan diri dalam Islam.
Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiyyah ketika itu sebanyak 1400 orang. Tetapi
dua tahun kemudian, tatkala Muhammad saw hendak membuka Mekah jumlah mereka
yang datang sudah 10.000 orang.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Mahdi Rizqullah, Biografi Rasulullah, Jakarta: Qisthi Press, 2008, Cet. Ke-3.
al-Umuri,
Akram Dhiya’, Shahih Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka, 2010, Cet. Ke-1.
az-Zaid,
Zaid bin Abdul Karim, Fikih Sirah, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2009, Cet.
Ke-1.
Hisyam,
Ibnu, as-Siroh an-Nabawiyah, Beirut: at-Turots al-Arobiy, 1997, Juz 3, Cet.
Ke-2.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Amin,
S. M. (2010). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
http://dedeyusuf-29.blogspot.com/2012/07/dakwah-nabi-muhammad-di-kota-mekah.html
http://fadlan-network.blogspot.com/2012/03/perjanjian-hudaibiyyah.html
FOOT
NOTE
[1]
Akram Dhiya’ al-Umuri, Shahih Sirah Nabawiyah, Cet. Ke-1, h. 457.
[2]
Ibnu Hisyam, Op. Cit., h. 351.
[3]
Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, Cet. Ke-3, h. 633.
[4]Ibid.,
h. 633.
[5]
Akram Dhiya’ al-Umuri, Op. Cit., h. 642.
[6]
Mahdi Rizqullah Ahmad, Op. Cit., h. 638.
[7]
Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, Fikih Sirah, Cet. Ke-1. h. 465.
[8]
Ibid., h. 639.
[9]
Ibid., h. 642.
[10]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 30.
|