0
Perbedaan Bank Syari'ah dan Bank Konvensional
Posted by Atang Fauzi
on
05.56
MAKALAH
Menyikapi Perbedaan
Bank Syari’ah dan Bank Konvensional
Ditulis Untuk Memenuhi Salah satu Tugas UTS
Mata Kuliah Fiqih
Nama Dosen: Dra, Mona Eliza. M,A.
Oleh:
Atang Fauzi
(1112051000005)
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (KPI) A
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 1434 H / 2013 M
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika
diskusi kemarin, kebetulan saya membahas tentang bank syari’ah, namun saya
menemukan keganjilan didalam perbedaan bank syari’ah dan bank konvensional, di
dalam teorinya banyak sekali terdapat perbedaan antara bank syari’ah dan bank
konvensional, namun di dalam segi prakteknya sama saja, hal ini menjadikan saya
terpacu untuk mengamati kembali dan ingin mencoba mentuntaskan tentang
perbedaan bank syari’ah dan bank konvensional.
Tidak
sedikit masyarakat umum dan bahkan kalangan intelektual terdidik yang belum
memahami konsep bank syariah. Mereka beranggapan bagi hasil adalah sama dengan
bunga. Mereka mengklaim, bahwa bagi hasil hanyalah nama lain dari sitem bunga.
Pandangan ini juga masih terdapat di kalangan sebagian kecil ustadz yang belum
memahami konsep dan operasional bagi hasil.
Dalam
makalah ini akan diuraikan setidaknya lima perbedaan mendasar antara bank
syariah dan bank konvensional yakni dari segi pengertian, akad dan aspek
legalitas, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai dan lingkungan
kerja serta corporate culture.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank
konvensional dilihat dari segi pengertian?
2. Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank
konvensional dilihat dari segi akad dan aspek legalitas?
3. Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank
konvensional dilihat dari segi lembaga penyelesaian sengketa?
4. Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank
konvensional dilihat dari segi bisnis dan usaha yang dibiayai?
5. Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank
konvensional dilihat dari segi lingkungan kerja dan corporate culture?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembuatan makalah ini selain dari tugas Ulangan Tengah
Semester (UTS) mata kuliah Fiqih, yakni ada tujuan yang lebih mendasar, yaitu
untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang perbedaan bank syari’ah dan
bank konvensional.
BAB
II
PEMBAHASAN
PERBEDAAN
BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
Bank syariah merupakan bank yang
secara operasional berbeda dengan bank konvensional. Dalam beberapa hal, bank
syariah dan bank konvensional memiliki persamaan terutama dalam sisi teknis.
Akan tetapi terdapat banyak perbedaan yang mendasar, diantara keduanya yang
menyangkut akad dan asek legalitas,
lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja serta
corporate culture.
A. Pengertian Bank
1. Pengertian Bank Konvensional
Pengertian
bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank
konvensional dapat didefinisikan seperti pada pengertian bank umum pada pasal 1
ayat 3 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dengan menghilangkan kalimat “dan atau
berdasarkan prinsip syariah”, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
2. Bank Syariah
Bank
Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah, adalah bank yang beroperasi
dengan tidak mengandalkan pada bunga. Perbankan syariah adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Menurut Antonio dan Perwataatmadja yang dikutip oleh Ismail dalam
buku Perbankan Syariah Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip
syariah Islam dan bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada
ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits.[1]
Batasan-batasan
bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasar pada syariat Islam,
menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan
tidak bertentangan dengan yariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah
adalah sebagai berikut :[2]
1. Prinsip Titipan atau Simpanan
(Al-Wadiah)
Al-Wadiah
dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik
individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendaki.
Secara umum terdapat dua
jenis al-wadiah, yaitu:
a. Wadiah Yad Al-Amanah
(Trustee Depository)
b. Wadiah Yad adh-Dhamanah
(Guarantee Depository)
2. Prinsip Bagi Hasil
(Profit Sharing)
Sistem
ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara
penyedia dana dengan pengelola dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini
adalah:
a. Al-Mudharabah
b. Al-Musyarakah
3. Prinsip Jual Beli
(Al-Tijarah)
Prinsip
ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank
akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah
sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank
menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli
ditambah keuntungan (margin).
4. Prinsip Sewa (Al-Ijarah)
Al-ijarah
adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri.
Al-ijarah terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah, sewa murni. (2) ijarah al
muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa
mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa.
5. Prinsip Jasa (Fee-Based
Service)
Prinsip ini meliputi seluruh
layanan non-pembiayaan yang diberikan bank.
B. Akad Dan Aspek Legalitas
Fikih
muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji
(promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak
antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang
memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak
yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam
wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik
(belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya,
maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Akad
merupakan suatu kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak yang saling
bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban
mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu[3]. Dalam akad,
terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah
well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu
tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang
sudah disepakati dalam akad.
Dalam
bank syariah, akad yang yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan
ukhrowi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Sehingga
kesepakatan dapat diminimalisir. Selain itu akad dalam perbankan syariah baik dalam
hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan
akad, seperti hal-hal berikut[4]
1. Rukun, seperti penjual, pembeli, barang,
harga dan ijab qabul.
2. Syarat, seperti:
a. Barang dan jasa harus halal.
b. Harga barang dan jasa harus jelas
c. Tempat penyerahan harus jelas.
d. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya
dalam kepemilikan.
C. Struktur Organisasi
Salah
satu perbedaan yang mendasar dalam struktur organisasi bank konvensional dan
bank syariah adalah kewajiban memposisikan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada
perbankan syariah. Demikian juga halnya di Indonesia, sedangkan di bank
konvensional tidak ada aturan yang demikian. Dewan pengawas syariah merupakan
satu dewan pakar ekonomi dan ulama yang menguasai bidang fiqh mu’amalah
(Islamic commercial jurisprudence) yang berdiri sendiri dan bertugas mengamati
dan mengawasi operasional bank dan semua produk-produknya agar sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariat Islam. Dewan pengawas syariah (The Shari’a
Supervisory Board) mesti melihat secara teliti bagaimana bentuk-bentuk
perikatan / akad (agrements, appointment and engagement) yang dilaksanakan oleh
institusi keuangan syariah. Dewan ini ditempatkan sejajar dengan dewan
komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap
opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Dewan
ini sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang, dan dibolehkan menunjuk beberapa
orang pakar ekonomi untuk membantu tugasnya, namun anggotanya tidak boleh
merangkap sebagai director atau komisaris utama (President Commissioner atau
significant shareholders) dari institusi keuangan syariah tersebut.2 Pembubaran
atau penggantian anggota dewan syariah mesti mendapat rekomendasi directors dan
dikehendaki mendapat pengesahan dari pemegang saham (shareholders) dalam Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) atau general meeting.
Di
Indonesia, Dewan Pengawas Syariah (DPS) mempunyai peranan yang sangat penting
dalam perbankan / institusi keuangan syariah yaitu:
1. Membuat persetujuan garis panduan
operasional produk perbankan syariah tersebut sesuai dengan ketentuan yang
telah disusun oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
2. Membuat pernyataan secara berkala pada
setiap tahun tentang bank syariah yang berada dalam pengawasannya bahwa bank
yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam laporan
tahunan (annual report) institusi syariah, maka laporan dari Dewan Pengawas
Syariah mesti dibuat dengan jelas.
3. Dewan Pengawas Syariah wajib membuat
laporan tentang perkembangan dan aplikasi sistem keuangan syariah (Islam) di
institusi keuangan syariah khususnya bank syariah yang berada dalam
pengawasannya, sekurang-kurangnnya enam bulan sekali.4 Laporan tersebut
diberikan kepada Bank Indonesia yang berada di Ibu kota provinsi dan atau Bank
Indonesia di Ibu kota negara Indonesia-Jakarta.
4. Dewan Pengawas Syariah juga berkewajiban
meneliti dan membuat rekomendasi jika ada inovasi produk-produk baru dari bank
yang diawasinya. Dewan inilah yang melakukan pengkajian awal sebelum produk
yang baru dari bank syariah tersebut diusulkan, diteliti kembali dan difatwakan
oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
5. Membantu sosialisasi perbankan / institusi
keuangan syariah kepada masyarakat.
6. Memberikan masukan (in-put) bagi
pengembangan dan kemajuan institusi kewangan syariah.
Dengan adanya Dewan Pengawas
Syariah pada setiap Bank Umum Syariah yang berpusat di ibu kota negara
Indonesia-Jakarta, maka tidak menolak kemungkinan timbulnya berbagai perbedaan
pendapat (ijtihad) tentang beberapa produk perbankan syariah antara satu bank
syariah dengan bank syariah yang lain. Hal in akan membingungkan para nasabah
(customers) dan menyukarkan untuk menyatukan persepsi umat Islam terhadap
perbankan syariah di Indonesia. Oleh sebab itu didirikanlah Dewan Syariah
Nasional (DSN) yang mengetuai semua institusi keuangan syariah di Indonesia.
Fungsi Dewan Syariah
Nasional (DSN) adalah :
1. Mengawasi semua produk-produk semua
institusi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Tugas dewan ini lebih luas
daripada Dewan Pengawas Syariah yang ada di setiap bank syariah atau institusi
keuangan syariah di Indonesia. Dewan Syariah Nasional tidak hanya mengawasi
perbankan syariah tetapi juga institusi-institusi keuangan syariah lainnya
seperti asuransi syariah, reksadana syariah, modal ventura, dan lain-lain
sebagainya.
2. Untuk kesatuan dalam pelaksanan sistem
syariah di setiap institusi keuangan syariah di Indonesia, Dewan Syariah
Nasional membuat garis panduan yang dipatuhi oleh semua Dewan Pengawas Syariah
yang ada pada setiap institusi keuangan Syariah untuk mengawasi jalanya sistem
syariah di setiap institusi keuangan syariah tersebut.
3. Dewan Syariah Nasional juga bertugas
meneliti ulang dan memberikan fatwa atas segala bentuk produk yang diusulkan
dan dikembangkan oleh institusi keuangan syariah.
4. Dewan Syariah Nasional juga mengesahkan
usulan nama-nama orang yang akan disahkan menjadi Dewan Pengawas Syariah yang
berada di setiap institusi keuangan syariah. Selain itu, Dewan Syariah Nasional
juga memberi cadangan para ulama/intelektual Muslim yang akan ditugaskan
sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di institusi keuangan syariah.
D. Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda
dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan
atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak
menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara
dan hukum syariah. Lembaga yang mengatur hukum berdasar prinsip syariah di
Indonesia dikenal dengan nama Badan Arrbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang
didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis
Ulama Indonesia.[5]
Dalam rekomendasi RAKERNAS
MUI tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam
(arbitrase syariah) satu-satunya dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Kemudian sesuai dengan hail pertemuan antara dewan pimpinan MUI dengan pengurus
BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat pengurus BAMUI
No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 7 Oktober 2003, maka MUI dengan SKnya No.Kep
09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003, menetapkan:
1. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat
Indoesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
2. Mengubah bentuk badan dari yayasan menjadi
badan yang berada d bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi.
3. BASYARNAS bersifat otonom dan independen.
Tugas dan kewenangan
BASYARNAS:[6]
1. Menyelesaikan perselisihan dan sengketa
keperdataan dengan prinsip yang mengutamakan perdamaian.
2. Menyelesaiakan sengketa keperdataan antara
bank syariah dengan nasabahnya yang menjadikan syariah sebagai dasarnya.
3. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat
dalam sengketa muamalat yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, jasa
dan lain-lain.
4. Atas permintaan pihak-pihak dalam suatu
perjanjian, dapat memberikan suatu pendapat mengenai suatu persoalan berkenaan
dengan perjanjian tersebut.
Mekanisme operasional
BASYARNAS:[7]
1. Permohonan untuk mengadakan arbitrasi
2. Penetapan arbiter
3. Acara pemeriksaan
4. Perdamaian
5. Pembuktian dan saksi
6. Berakhirnya pemeriksaan
7. Pengambilan putusan
8. Perbaikan putusan
9. Pembatalan putusan
10. Pendaftaran putusan
11. Pelaksanaan putusan
12. Biaya arbitrase
Mengenai kewenangan kompetensi absolut terhadap penyelesaian
permasalahan hukum antara nasabah dan bank syariah, telah diatur dalam
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 55 ayat 1
“Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama”. Hal tersebut telah diperkuat dengan UU No.3 tahun
2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pasal
49.
E. Bisnis Dan Usaha Yang Dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dibiayai tidak terlepas
dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai
usaha yang terkandung di dalammnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan
syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal
pokok, diantaranya sebagai berikut:[8]
1. Usaha yang dibiayai merupakan proyek halal
2. Usaha
yang bermanfaat bagi masyarakat
3. Usaha yang menguntungkan bagi bank dan
mitra usahanya.
Sebaliknya bank konvensional, tidak mempertimbangkan jenis
investasinya, akan tetapi penyaluran dananya dilakukan untuk perusahaan yang
menguntungkan, meskipun menurut syariah Islam tergolong produk yang tidak
halal.
F. Lingkungan Kerja Dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang
sejalan dengan syariah. Dalam hal etika misalnya sifat amanah dan shiddiq harus
melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutuf muslim yang
baik. Disamping itu karyawan bank syariah harus skillful dan profesional dan
mampu melakukan tugas-tugas teamwork.
Selain itu, cara perpakaian dan tingkah laku dari para karyawan
merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam lembaga keuangan yang membawa
nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang
kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Bank konvensional yaitu bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Perbankan syariah adalah
segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
2. Akad merupakan suatu kesepakatan yang
mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak
terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati
terlebih dahulu. Dalam bank syariah, akad yang yang dilakukan memiliki
konsekwensi duniawi dan ukhrowi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum
islam.
3. Secara organisatoris, bank syariah dan bank
konvensional itu sama. Perbedaannya cuma satu, bank syariah memiliki Dewan
Pengawas Syariah.
4. Pada perbankan syariah terdapat perbedaan
atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak
menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya di BASYARNAS.
5. Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang
dibiayai tidak terlepas dari saringan syariah, yakni usaha yang di dalammnya
tidak terkandung hal-hal yang diharamkan.
6. Sebuah bank syariah selayaknya memiliki
lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah.
7. Bank syariah berbeda dengan bank
konvensional dalam hal akd dan aspek legalitas, struktur organisasi, lembaga
penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja serta
corporate culture.
B. Kritik dan Saran
Saya menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca terutama dosen
mata kuliah ini. Agar dapat pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.
Atas kritik dan sarannya saya ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Amuaz, Perbedaan
Karakteristik Bank Syariah dan Bank Konvensional, 2008,
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/06/perbedaan-bank-syariah-dan-bank-konvensional-2/
Barokah, Robby, Makalah
BASYARNAS, 2009,
http://robbybarokah.blogspot.com/2009/06/makalah-basyarnas.html?m=1
Ismail, Perbankan Syariah,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2011.
Karim, Adiwarman, Bank Islam
(Analisis Fiqih dan Keuangan), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004.
Murni, Asfia, Ekonomika
Makro, Refika Aditama, Bandung, 2009.
Rachdian, Perbedaan Antara
Banak Syariah Dan Bank Konvensional, 2011, http://databaseartikel.com/ekonomi/perbankan-ekonomi/20118034-perbedaan-antara-bank-syariah-dan-bank-konvensional.html
FootNote:
[1]Ismail, Perbankan
Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2011, 32.
[2]Asfia Murni, Ekonomika
Makro, Bandung: Refika Aditama, 2009,
127-130.
[3]Adiwarman Karim, Bank
Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, 63.
[4]Rachdian , Perbedaan
Antara Banak Syariah Dan Bank Konvensional,2011,
http://databaseartikel.com/ekonomi/perbankan-ekonomi/20118034-perbedaan-antara-bank-syariah-dan-bank-konvensional.html
, (23 Maret 2012)
[5]Amuaz, Perbedaan Karakteristik
Bank Syariah dan Bank Konvensional, 2008,
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/06/perbedaan-bank-syariah-dan-bank-konvensional-2/
(25 Maret 2012)
[6]Robby Barokah, Makalah
BASYARNAS, 2009, http://robbybarokah.blogspot.com/2009/06/makalah-basyarnas.html?m=1,
(28 Maret 2012)
[7]Robby Barokah :”Makalah
BASYARNAS”…
[8]Drs. Ismail, MBA.,Ak.,
Perbankan Syariah…,34
[9]Asfia Murni, Ekonomika
Makro…,126.